Minggu, 09 September 2012

Dijanjikan Surga, Ia pun Memilih Bersabar

بسم الله الرحمن الرحيم

و عني عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ: قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما " أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟، قُلْتُ: بَلَى، قَالَ: هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ "دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ، فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا


Dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ia berkata: Telah berkata kepadaku Ibnu ‘Abbaas -semoga Allah meridhainya-: “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita penghuni surga?”.

Aku berkata: “Ya”.

Ia berkata: “Wanita berkulit hitam ini pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata:

‘Sesungguhnya aku menderita penyakit ayan, dan (ketika kambuh) pakaianku tersingkap. Berdoalah kepada Allah (untuk kesembuhanku)’.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika engkau ingin, maka bersabarlah dan bagimu balasan surga. Dan jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah untuk menyembuhkanmu’.

Wanita itu berkata: ‘Aku akan bersabar. Akan tetapi (jika penyakitku kambuh), pakaianku tersingkap. Berdoalah kepada Allah untukku agar pakaianku tidak tersingkap’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuknya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5652]. Teks dan terjemah hadits dicopas dari artikel Blog Ust. Abul-Jauzaa berjudul Amalan untuk Menggapai Syafa’at dengan sedikit perubahan pada sanad.

Faidah:

Telah menceritakan kepadaku ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ia berkata : "Telah berkata kepadaku Ibnu ‘Abbaas -semoga Allah meridhainya"

Hadits ini dimulai dengan percakapan antara seorang tabi‘in, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, dengan salah seorang gurunya dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Abdullah bin ‘Abbaas -semoga Allah meridhai keduanya di mana beliau menawarkan kepada muridnya ‘Athaa’ sebuah kisah berfaidah.

‘Athaa’ bin Abi Rabbaah adalah ulama dari kalangan tabi‘in yang berguru pada banyak dari kalangan sahabat, di antaranya adalah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah -semoga Allah meridhainya- Ibunda orang-orang yang beriman dan, yang disebutkan di hadits ini, ‘Abdullah bin ‘Abbaas -semoga Allah meridhai keduanya- anak paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memiliki banyak keutamaan di berbagai bidang agama, terutama dalam manasik haji. Biografi lebih lengkap tentang beliau: bagian 1 dan bagian 2.

Generasi beliau, generasi sahabat dan tabi‘un kemudian tabi‘it-tabi‘in, adalah generasi terbaik di mana semangat mereka menuntut ilmu syari‘i sangat tinggi dan tidak ada yang menyainginya.

Begitu juga dalam beramal shalih, tidak ada kebaikan sekecil apa pun yang mungkin dilakukan dan tidak ada penghalang dari pelaksanaannya saat itu kecuali, merekalah yang paling bersungguh-sungguh dalam berusaha mengamalkannya.

Oleh karena itu salah satu kaidah dalam menentukan bid‘ah adalah

"لو كان خيرا لسبقو نا إليه"

Terjemah bebasnya: "Seandainya suatu perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat, tabi‘un dan tabi‘ut-tabi‘in) sudah mendahului kita dalam mengamalkannya."


“Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita penghuni surga?”.

Penyebutan penghuni surga ada dua macam:

1. Dengan disebutkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya, seperti banyak dalam ayat-ayat Al-Qur`an mau oun teks-teks hadits.

2. Dengan disebutkan atau ditunjukkan langsung orang-orangnya, seperti hadits tentang sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan juga hadits ini.


Ia berkata: “Wanita berkulit hitam ini pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

Dari sini dapat kita ketahui sedikit ciri fisik wanita ahli surga tadi: berkulit hitam. Maka, ciri fisik, kemudian diperluas pada postur tubuh, jabatan, harta dan materi lainnya, bukanlah indikator keutamaan seseorang.


dan berkata:

‘Sesungguhnya aku menderita penyakit ayan, dan (ketika kambuh) pakaianku tersingkap. Berdoalah kepada Allah (untuk kesembuhanku)’.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika engkau ingin, maka bersabarlah dan bagimu balasan surga. Dan jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah untuk menyembuhkanmu’.


صْرَعُ bisa bermakna penyakit ayan atau bisa juga bermakna terkena sihir.

Inilah yang menjadi penunjuk keutamaan sabar, sesuai dengan nama Bab hadits ini ditempatkan oleh Al-Imaam An-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitab Riyaadhush-Shaaliiin.

[Terlintas dalam benak, kalau mau, bukankah bisa saja didoakan agar sembuh dan tetap masuk surga?

Lalu teringat akan keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering tidak ada asap mengepul dari rumahnya. Begitu juga kondisi sebagian sahabat yang miskin.

Andai cari mudah, doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mustajab bukan?

Dalam suatu kesempatan saja pernah segelas susu yang dihadiahkan kepada Beliau dapat mengenyangkan sahabat Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya- dan ternyata banyaknya susu tidak berubah baru kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum darinya.-Baca di sini.

Di lain waktu, air memancar dari jemari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan banyak orang berwudhu darinya.-Baca di sini.

Mengapa tidak sekalian saja meminta kemudahan untuk seluruh kehidupannya?

Hasil renungan pribadi: sebagai hamba, kita harus pasrah dan terima dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah berupa sehat, sakit, kaya, miskin dan sebagainya. Bukan berarti tidak berusaha atau berikhtiar! Tapi rela, ridha bahkan tetap bersyukur ketika menghadapinya sebagai bentuk pengagungan, ketundukan dan perendahan diri kita kepada Allah. Wallahu A'lam.]


Wanita itu berkata: ‘Aku akan bersabar. Akan tetapi (jika penyakitku kambuh), pakaianku tersingkap. Berdoalah kepada Allah untukku agar pakaianku tidak tersingkap’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuknya”

Wanita ini adalah wanita yang cerdas (الكيس) yang sesuai dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

“Orang yang pintar itu ialah orang yang mampu mengevaluasi diriniya dan beramal (mencurahkan semua potensinya) untuk kepentingan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (HR. Attirmizi no. 2383 dan dishahihkan al-Albani dalam silsilah ahadis Shahihah).

Dia memilih bersabar, yang pada saat itu dijanjikan langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam balasan berupa surga.

Dapat dilihat pula bahwa wanita ini adalah wanita baik-baik lagi terhormat. Dia menjaga dirinya. Dia tidak ingin auratnya tersingkap, terlihat oleh orang lain. Dia ingin tetap menjaga apa yang diperintahkan untuk dijaga walau dalam keadaan di mana pena terangkat, yaitu ketika penyakitnya kambuh dan hilang kesadarannya.

#Sedikit faidah yang ana ingat dari kajian rutin hadits-hadits kitab Riyaadhush-Shaalihiin yang disampaikan oleh Ust. Ridwan Hamidi, ahad sore 9 September 2012 di Masjid Kampus UGM.

Sebenarnya yang dibahas ada dua hadits, yang ana catat hanya hadits yang disebutkan di atas.

Ada beberapa tambahan dari ana pribadi, termasuk yang berada dalam kurung siku.#

Rabu, 05 September 2012

(Ringkasan Catatan) Pengertian Ushul Fiqh

بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam catatannya, Mas Rama Rizana menulis:

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).”
~HSR al-Bukhari (no. 2948) dan Muslim (no. 1037).~
Keberhasilan seorang muslim adalah diberhasilkannya ia oleh ALLOH Ta'ala untuk memahami agama.

Ilmu ushul fiqh adalah salah satu ilmu terpenting di dalam mempelajari ilmu agama.
Ushul fiqh didefiniskan dengan 2 pengertian

1. Ditinjau dari definisi kata penyusunnya,yakni kata "ushul" dan kata "fiqh".
Ushul

الأصول jamak dari أصل (ashlun) yaitu perkara yang dibangun di atasnya perkara yang lainnya, sehingga termasuk hal tersebut adalah asal dinding yaitu pondasinya dan asal pohon yang dahan-dahannya bercabang darinya,
seperti dalam Quran Surat Ibrahim ayat 24,ALLOH Ta'ala berfirman :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.

Fiqh
Menurut bahasa berasal dari kata الفهم (paham). Salah satunya tertera di Quran Surat Thoha ayat 27-28 :
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي- 27 يَفْقَهُوا قَوْلِي-28
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.

Sedangkan,menurut istilah,yakni
Ma'rifatul ahkamusy syar'iyatul 'amaliyah bi-adillatihat tafshiliyah
"Pengetahuan terhadap hukum-hukum yang syar'i yang berkaitan dengan 'amailyah dengan dali-dalil yang rinci."

Detailnya

a. "Pengetahuan" (Ma'rifah)

bermakna Al-'Ilmu,yang bisa diartikan sebagai "keyakinan" dan Azh-Zhon,yakni sesuatu yang di bawah/lebih rendah dibandingkan keyakinan (seperti prasangka)
Adapun untuk Azh-Zhon harus memiliki sumber atau berasal dari ijtihad.
Untuk pengertian di atas,ini menjadi gambaran bahwa perkara fiqh memiliki banyak perselisihan (khilafiyah),karena hampir banyak dari perkara fiqh berasal dari ijtihad. Berbeda dengan perkara 'aqidah yang tidak memiliki banyak perselisihan karena bersumber dari keyakinan.

b. "Hukum-hukum yang syar'i" (Al-Ahkamusy Syar'iyyah)

maksudnya adalah hukum-hukum yang berasal dari syari'at, seperti wajib dan haram. Hukum fiqh tidak berasal dari akal dan kebiasaan.

c. "'Amaliyyah atau yang bersifat amalan" ('Amaliyyah)

adalah sesuatu yang tidak berkaitan dengan I'tiqod (keyakinan), seperti sholat dan zakat. Makanya, ketika kita ingin mempelajari ilmu Tauhid Asma' Wa shifat tidak ditemui di buku fiqh. Begitu juga ketika mencari penjelasan tentang sholat tidak ditemui di kitab tauhid.
Meskipun begitu, perkara fiqh tidak bisa dilepaskan dari 'aqidah,seperti tentang syarat diterimanya sebuah amalan.

d. "Dengan dalil-dalil yang rinci" (Bi-adillatit tafshiliyyah)

maksudnya adalah dalil-dalil terkait persoalan fiqh adalah dalil-dalil yang terperinci, sedangkan terkait ushul fiqh adalah dalil ijmali.
Sebagai contoh dalil tentang kewajiban sholat.
"وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ"
dalil ini adalah dalil yang rinci tentang kewajiban sholat, ini dibahas di ilmu fiqh. sedangkan di dalam ilmu ushul fiqh yang dibahas adalah kaidah mengapa kata أَقِيمُوا menunjukkan sebuah kewajiban.


2. Ditinjau dari kedudukannya sebagai bidang ilmu,
"Ilmu yang membahas/mempelajari dalil-dalil fiqh yang ijmali dan bagaimana memanfaatkan dari dalil-dalil tersebut dan keadaan memanfaatkannya."

Detail
"Ijmali" (Al-Ijmaliyyah)
maksudnya adalah kaidah-kaidah secara umum. misalnya perintah untuk sesuatu yang wajib dan larangan untuk sesuatu yang haram.

"Bagaimana memanfaatkan dari dalil-dalil tersebut" (Wa kaifa al-istifadatu minha)
maksudnya adalah bagaimana cara orang yang memanfaatkan, seperti mujtahid di dalam mengambil suatu hukum dari dalil-dalil yang ada,seperti dengan mempelajari lafazh-lafazhnya karena terkait ilmu bahasa.
Seperti pada potongan ayat وَأَقِيمُوا الصَّلَاة. Apakah kata "الصَّلَاة" di sini bermakna semua sholat diwajibkan?
jika dari segi ilmu bahasa,maka jawabannya adalah tidak. karena kata "الصَّلَاة" tersebut menggunakan alif-lam di awalnya yang bermakna sebagian.

Seorang baru dikatakan mujtahid atau ahli dalam ilmu fiqh kalau dia sudah memahami dan menguasai ilmu ushul fiqh,karena ilmu ushul fiqh ini adalah pokok/dasar dari ilmu fiqh. Karena ketika ia memahami dan menguasai ilmu ushul fiqh,ia dapat mengolah data (dalam hal ini adalah dalil-dalil yang ada) menjadi sebuah hukum.


Faedah ushul fiqh
Ilmu ushul fiqh ini memiliki derajat yang mulia,derajatnya sangat penting,memiliki banyak faedah, dengan kemampuan menguasai ilmu ushul fiqh bisa mengeluarkan hukum-hukum syar'i dari dalil-dalil yang ada.



ringkasan catatan pertemuan pertama materi Ushul Fiqh dari Kitab Al-Ushul min 'Ilmi Ushul karangan Syaikh bin Sholih Utsaimin dengan pemateri Ustadz Mu'tashim.
bahan tambahan bacaan : http://tashfiyah.or.id/ushul-fiqih-1-definisi-dan-faedahnya/

Bantul, 16 Syawal 1433 H

copas dari catatan https://www.facebook.com/notes/rama-rizana/ringkasan-catatan-pengertian-ushul-fiqh/10151004781046269

Menerima dan Pasrah

بسم الله الرحمن الرحيم

Copas dari status salah satu akun di friendlist facebook: Mas Hasan Al-Jaizy:

Al-Qabuul wa At-Tasliim

Satu pondasi penting dalam manhajiyyah istidlaal [mengambil dalil] dan mengimani wahyu adalah Al-Qabuul [menerima] dan At-Tasliim [menyerahkan]. Maksudnya: seorang muslim sebelum segalanya tentang pendalilan atau menarik kesimpulan dari dalil, ia harus membangun rasa nerimo dan tunduk pada dalil. Bukan justru sebaliknya: mencoba mengkritisi dalil dan memang sedari awal sudah suspisius alias super curiga terhadap dalil.

-Fatwa Ijtihady, apakah dalil?

Tentu saja, dalam mengkritisi sebuah fatwa, diperlukan ilmu yang memadai. Tidak asal kritis dan melawan. Kita boleh mengatakan: 'Itu kan sekedar fatwa! Itu kan sekedar ijtihad beliau!' tapi jika memang hati su
dah mengatakan itu kebenaran, maka hati-hati...hati-hati terhadap 'pengetahuan'.

Tapi, bagaimana jika sebuah fatwa yang sifatnya ijtihady dijadikan sebuah dalil qath'i [pasti] atau seolah-olah disikap seperti dalil? Yakni: seakan tidak ada manusia yang boleh menyelisihinya meski dengan hujjah yang sama kuat. Duh, apakah kita melarang manusia bersikap taklid sementara kita sendiri bersikap seperti itu?

Di sini, ada korelasi yang matching dengan perkataan Dr. Syarif Al-Auny: "Dia juga mengklaim 'mengikuti dalil' padahal dia taklid kepada orang yang menunjukkan kepadanya dalil itu."

Mengikuti fatwa istilah mentahnya adalah 'taklid'. Sementara istilah halusnya [atau mungkin dianggap lebih tepatnya] adalah 'ittiba''. Terkadang fatwa juga tidak mendatangkan dalil qath'i [pasti], melainkan mendatangkan dalil dzanni [tidak pasti kiraan], seperti Qiyas, Istislaah, dll. Jika kita belum mempunyai kapasitas seorang mujtahid untuk berijtihad, maka tugas kita belajar dan bertaklid [baca: ber-ittiba']; namun baiknya kita tidak bersikap seolah-olah fatwa hasil IJTIHAD sebagian ulama adalah dalil qath'i yang tak bisa diselisihi meskipun oleh fatwa hasil ijtihad lainnya yang berlainan dengan HUJJAH yang juga kuat.

Sebaliknya dengan Islam Liberal

Justru orang liberal tidak kenal Al-Qabul wa At-Tasliim terhadap wahyu. Mereka menerapkan manhaj tersebut justru pada Barat yang menggaji jerih dan upaya mereka. Sementara terhadap wahyu, mereka pasti akan
berusaha kritis dan melawan.

Sebagaimana Ulil Absar Abdalla, pentolan JIL yang paling 'usil' dalam menggelitik syariat mengatakan: "Pemahaman Islam liberal yang saya kembangkan ingin mengajukan cara pandang yang lain. Berpikir KRITIS, termasuk dalam memahami perintah2 Tuhan adalah bagian dari keislaman itu sendiri."

Ulil juga menyebut orang yang hanya 'TUNDUK-PATUH' [Al-Qabuul wa At-Tasliim] terhadap perintah Tuhan sebagai 'Syarrud dawaaab' [seburuk-buruk makhluk] yang tuli dan bisu....tidak kritis atas titah Tuhan.

Copas dari status (https://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/433573130017411) akun Hasan Al-Jaizy (https://www.facebook.com/hasaneljaizy), 26 Agustus 2012