بسم الله الرحمن الرحيم
Bayangkan ketika seorang suami mengatakan kepada istrinya tercinta, “Istriku, aku cinta padamu.” Lumayan ‘so sweet’ memang, tapi kalimat tersebut masih sangat biasa dari segi redaksi. Sekedar mengungkapkan bahwa sang suami memiliki rasa cinta kepada istrinya.
Kalimat selanjutnya, “Istriku, aku sangat mencintaimu.” Ada kelebihan dari redaksi ini dibandingkan redaksi sebelumnya. Sang suami mengatakan bahwa rasa cinta yang dimilikinya terhadap sang istri tidaklah cinta biasa, tapi cinta yang begitu besar yang diekspresikan dengan kata ‘sangat’. Tapi masih ada yang lebih hebat dari itu.
“Istriku, engkaulah orang yang paling aku cintai.” Redaksi ini lebih hebat lagi dari dua redaksi sebelumnya. Rasa cinta yang dimiliki oleh suaminya lebih dari sangat, bahkan rasa cinta terhadap istrinya adalah rasa cinta terbesar yang ada pada suami. Tentu cinta ini cinta yang hebat! Umumnya, istri-istri akan tersanjung mendengar ungkapan ini.
Tapi ketiga ungkapan di atas memiliki kelemahan. Ketiga redaksi di atas masih memungkinkan bagi sang suami untuk memiliki rasa cinta yang lain. Ia masih mungkin cinta pada yang lain sembari cinta kepada istrinya. Bisa saja ia lebih cinta kepada yang lain walau ia sangat cinta kepada istrinya. Dia juga mungkin masih punya cinta kedua, ketiga dan seterusnya jika ternyata istrinya adalah perempuan yang paling dia cintai. Walau dalam Islam diperbolehkan poligami sekalipun, tentu sulit dan berat bagi kebanyakan perempuan untuk menerima bahwa suaminya memiliki rasa cinta pada perempuan lain.
Dari uraian di atas, bisa ditebak ungkapan cinta selanjutnya yang paling hebat.
“Istriku, aku tidak mencintai seorangpun, kecuali hanya kepadamu seorang.”
Mantab!
Sang suami tidak hanya cinta kepada istrinya, lebih dari sangat mencintai istrinya. Bahkan di sini tidak perlu ada tingkatan lagi bagi cinta yang ia rasakan, karena bagi sang suami, tidak ada cinta kecuali hanya untuk istrinya semata. Cinta itu tidak terdefinisi baginya kecuali hanya untuk sang istri seorang. Semua cinta yang ada selain cinta kepada istrinya bukanlah cinta sejati, melainkan hanya cinta palsu saja.
Lalu apa hubungannya dengan kalimat tauhid, kalimat syahadat? Kalimat syahadat Laa Ilaaha Illallah terdiri dari dua bagian.
Bagian pertama adalah an-nafyu atau peniadaan. Laa Ilaaha.
Bagian ini berfungsi untuk meniadakan hak penyembahan kepada siapapun. Tidak ada satupun yang berhak untuk diibadahi, disembah, diagungkan dengan sebenar-benar pengagungan di alam semesta ini. Tak ada yang pantas untuk menerima kelebihan dan keistimewaan ini.
Bagian kedua adalah al-itsbat atau penetapan. Illallah.
Setelah menihilkan akan adanya dzat yang pantas diibadahi, tak ada satupun, lalu dikecualikan hanya untuk Satu Dzat saja. Dzat yang telah menciptakan alam semesta. Dzat yang telah mengatur peredaran bintang. Dzat yang telah memberi rizki semua makhluk-Nya. Dzat yang melimpahkan rahmat bagi para hamba-Nya. Dialah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka dengan melafadzkan kalimat syahadat ini, seorang muslim tidak memberikan ketundukan dan kepatuhan yang absolutnya pada siapapun kecuali hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia mengikrarkan kemerdekaan atas dirinya dari segala penghambaan baik kepada orang, jin, kekuasaan, harta, jabatan, hawa nafsu dan yang lainnya karena penghambaannya hanya pantas ditujukan kepada Allah semata. Tidak ada tujuan apapun baginya untuk menjalani hidup di muka bumi sepanjang umurnya kecuali hanya karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Selain itu, ibadah dan penghambaan adalah sesuatu yang jauh melebihi cinta. Kita mencintai seseorang karena jasa budi dari orang tersebut, adanya harapan kebaikan dari orang tersebut atau karena mulianya orang tersebut. Maka betapa nikmat Allah amat banyak atas diri kita, rahmat dan kasih sayang-Nya begitu kita butuhkan dan harapkan apalagi keutamaan, kemuliaan dan keagungan Dzat, Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna, tak ada yang menandingi, tiada yang menyamai.
Ketika para ulama, ahli bahasa, pujangga dan ahli hikmah kebingungan memaknai apa itu cinta, sedangkan cinta itu hanyalah bagian dari ibadah dan penghambaan.
Kekuataan penghambaan inilah yang menjadikan seorang muslim kuat. Sebuah motivasi utama yang melandasi tiap gerak-geriknya. Semangat yang mengangkan kaum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari bangsa yang tidak diperhitungkan menjadi penakluk dua imperium besar dunia.
Ini adalah misi utama dari para nabi dan rasul yang diutus.
“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.”Bahkan jika kita renungkan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang lain bahwa,
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Maka pertama-tama, akhlak yang harus kita perbaiki adalah akhlak kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bagaimana berakhlak kepada Allah? Jawabannya adalah sebagaimana akhlak seorang hamba sahaya kepada Rabbnya, yaitu dengan tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya dengan sebenar-benar ibadah.
Akan tetapi, wahai saudaraku yang semoga dilimpahi rahmat oleh Allah, kita sebagai manusia tempatnya salah dan lupa seringkali khilaf dan silap dalam menjalani nafas kita yang tersisa. Betapa banyak niatan, ambisi dan keinginan kita yang menodai dan mengotori kesucian ikrar syahadat kita. Sulit untuk istiqamah di atas jalan ini. Sungguh beruntung orang-orang yang dikaruniai istiqamah.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiaomah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
Padahal, tidak ada satupun yang satupun yang dapat menolong dan membantu kita istiqamah untuk menghamba kepada Allah, kecuali hanya Allah saja. Semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya kepada kita agar kita sanggup istiqamah di atas kalimat mulia ini.