Jumat, 24 April 2015

Romantisnya Kalimat Tauhid

 بسم الله الرحمن الرحيم

Bayangkan ketika seorang suami mengatakan kepada istrinya tercinta, “Istriku, aku cinta padamu.” Lumayan ‘so sweet’ memang, tapi kalimat tersebut masih sangat biasa dari segi redaksi. Sekedar mengungkapkan bahwa sang suami memiliki rasa cinta kepada istrinya.

Kalimat selanjutnya, “Istriku, aku sangat mencintaimu.” Ada kelebihan dari redaksi ini dibandingkan redaksi sebelumnya. Sang suami mengatakan bahwa rasa cinta yang dimilikinya terhadap sang istri tidaklah cinta biasa, tapi cinta yang begitu besar yang diekspresikan dengan kata ‘sangat’. Tapi masih ada yang lebih hebat dari itu.

“Istriku, engkaulah orang yang paling aku cintai.” Redaksi ini lebih hebat lagi dari dua redaksi sebelumnya. Rasa cinta yang dimiliki oleh suaminya lebih dari sangat, bahkan rasa cinta terhadap istrinya adalah rasa cinta terbesar yang ada pada suami. Tentu cinta ini cinta yang hebat! Umumnya, istri-istri akan tersanjung mendengar ungkapan ini.

Tapi ketiga ungkapan di atas memiliki kelemahan. Ketiga redaksi di atas masih memungkinkan bagi sang suami untuk memiliki rasa cinta yang lain. Ia masih mungkin cinta pada yang lain sembari cinta kepada istrinya. Bisa saja ia lebih cinta kepada yang lain walau ia sangat cinta kepada istrinya. Dia juga mungkin masih punya cinta kedua, ketiga dan seterusnya jika ternyata istrinya adalah perempuan yang paling dia cintai. Walau dalam Islam diperbolehkan poligami sekalipun, tentu sulit dan berat bagi kebanyakan perempuan untuk menerima bahwa suaminya memiliki rasa cinta pada perempuan lain.

Dari uraian di atas, bisa ditebak ungkapan cinta selanjutnya yang paling hebat.

“Istriku, aku tidak mencintai seorangpun, kecuali hanya kepadamu seorang.”

Mantab!

Sang suami tidak hanya cinta kepada istrinya, lebih dari sangat mencintai istrinya. Bahkan di sini tidak perlu ada tingkatan lagi bagi cinta yang ia rasakan, karena bagi sang suami, tidak ada cinta kecuali hanya untuk istrinya semata. Cinta itu tidak terdefinisi baginya kecuali hanya untuk sang istri seorang. Semua cinta yang ada selain cinta kepada istrinya bukanlah cinta sejati, melainkan hanya cinta palsu saja.

Lalu apa hubungannya dengan kalimat tauhid, kalimat syahadat? Kalimat syahadat Laa Ilaaha Illallah terdiri dari dua bagian.

Bagian pertama adalah an-nafyu atau peniadaan. Laa Ilaaha.

Bagian ini berfungsi untuk meniadakan hak penyembahan kepada siapapun. Tidak ada satupun yang berhak untuk diibadahi, disembah, diagungkan dengan sebenar-benar pengagungan di alam semesta ini. Tak ada yang pantas untuk menerima kelebihan dan keistimewaan ini.

Bagian kedua adalah al-itsbat atau penetapan. Illallah.

Setelah menihilkan akan adanya dzat yang pantas diibadahi, tak ada satupun, lalu dikecualikan hanya untuk Satu Dzat saja. Dzat yang telah menciptakan alam semesta. Dzat yang telah mengatur peredaran bintang. Dzat yang telah memberi rizki semua makhluk-Nya. Dzat yang melimpahkan rahmat bagi para hamba-Nya. Dialah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Maka dengan melafadzkan kalimat syahadat ini, seorang muslim tidak memberikan ketundukan dan kepatuhan yang absolutnya pada siapapun kecuali hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia mengikrarkan kemerdekaan atas dirinya dari segala penghambaan baik kepada orang, jin, kekuasaan, harta, jabatan, hawa nafsu dan yang lainnya karena penghambaannya hanya pantas ditujukan kepada Allah semata. Tidak ada tujuan apapun baginya untuk menjalani hidup di muka bumi sepanjang umurnya kecuali hanya karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”

Selain itu, ibadah dan penghambaan adalah sesuatu yang jauh melebihi cinta. Kita mencintai seseorang karena jasa budi dari orang tersebut, adanya harapan kebaikan dari orang tersebut atau karena mulianya orang tersebut. Maka betapa nikmat Allah amat banyak atas diri kita, rahmat dan kasih sayang-Nya begitu kita butuhkan dan harapkan apalagi keutamaan, kemuliaan dan keagungan Dzat, Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna, tak ada yang menandingi, tiada yang menyamai.

Ketika para ulama, ahli bahasa, pujangga dan ahli hikmah kebingungan memaknai apa itu cinta, sedangkan cinta itu hanyalah bagian dari ibadah dan penghambaan.

Kekuataan penghambaan inilah yang menjadikan seorang muslim kuat. Sebuah motivasi utama yang melandasi tiap gerak-geriknya. Semangat yang mengangkan kaum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari bangsa yang tidak diperhitungkan menjadi penakluk dua imperium besar dunia.

Ini adalah misi utama dari para nabi dan rasul yang diutus.

“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.”
Bahkan jika kita renungkan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang lain bahwa,

“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Maka pertama-tama, akhlak yang harus kita perbaiki adalah akhlak kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bagaimana berakhlak kepada Allah? Jawabannya adalah sebagaimana akhlak seorang hamba sahaya kepada Rabbnya, yaitu dengan tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya dengan sebenar-benar ibadah.

Akan tetapi, wahai saudaraku yang semoga dilimpahi rahmat oleh Allah, kita sebagai manusia tempatnya salah dan lupa seringkali khilaf dan silap dalam menjalani nafas kita yang tersisa. Betapa banyak niatan, ambisi dan keinginan kita yang menodai dan mengotori kesucian ikrar syahadat kita. Sulit untuk istiqamah di atas jalan ini. Sungguh beruntung orang-orang yang dikaruniai istiqamah.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiaomah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”

Padahal, tidak ada satupun yang satupun yang dapat menolong dan membantu kita istiqamah untuk menghamba kepada Allah, kecuali hanya Allah saja. Semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya kepada kita agar kita sanggup istiqamah di atas kalimat mulia ini.

Rabu, 24 Juli 2013

Witir 3 raka'at satu tasyahud, duduk tasyahudnya tawaruk atau iftirasy?

بسم الله الرحمن الرحيم

Teringat kajian 20 hari Ramadhan tahun lalu yang membahas wudhu, shalat dan shaum, dibahas oleh Ustadz Aris Munandar (https://www.facebook.com/profile.php?id=100005284324087) tentang kaidah duduk iftirasy dan tawaruk madzhab syafi'iyah dan maddzhab hanabilah. Seingat ana tidak diberikan bunyi atau lafal kaidahnya tapi secara pemahaman, insya Allah begini:

Madzhab Syafi'iah: duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat yang memiliki dua tasyahhud maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.

Madzhab Hanabilah: hukum asal duduk pada shalat adalah dengan iftirasy kecuali jika terdapat dua tasyahud di dalamnya, maka pada tasyahud terakhir duduk dengan duduk tawaruk.

Kedua madzhab ini sepakat jika di dalam suatu shalat ada dua tasyahud (contohnya Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya), maka pada tasyahud awal duduk iftirasy dan pada tasyahud akhir duduk tawaruk.

Yang berbeda, adalah ketika shalat dua raka'at seperti Shubuh atau shalat sunnah lain yang dilakukan dua rakaat. Yang mengikuti pendapat madzhab Syafi'iyah, ketika tasyahud dia duduk dengan duduk tawaruk sedangkan yang mengikuti madzhan Hanabilah dengan duduk iftirasy.

Ana sendiri sekarang ini mengikuti (err.. sepertinya masih taqlid sih) madzhab Hanabilah.

CMIIW.

Lalu, di masjid dekat dengan kosan sekarang, ana mendapati dilaksanakan di sana shalat tarawih 2-2-2-2-3. Pada witir terakhir langsung 3 rakaat dengan sekali tasyahud. Karena masih awam, ana pun bimbang. Karena ana mengikuti pendapat madzhab Hanabilah pada masalah ini, seharusnya ketika tasyahud ana duduk dengan duduk iftirasy. Tapi karena kebiasaan, rasanya aneh juga, shalat tiga rakaat tapi duduknya iftirasy.

Maka untuk meyakinkan lagi, ana tanyakan langsung lewat inbox akun Ustadz Aris dan ternyata memang duduknya dengan iftirasy. Begitu juga kalau shalat witirnya 2-1, maka pada 1 rakaat yang sendirian itu tasyahudnya dengan iftirasy.

Btw, ketika ana coba browsing di yufid.com, ndak semuanya sama. Di salah satu tulisan disebutkan Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat menguatkan pendapat Madzhab Syafi'iyah (http://almanhaj.or.id/content/923/slash/0/sifat-duduk-dalam-shalat-dua-rakaat/) sedang Ustadz Firanda menguatkan pendapat Madzhab Hanabilah (http://firanda.com/index.php/konsultasi/fiqh/55-cara-duduk-tasyahhud-terakhir-sholat-subuh).

Terus, bingung? Semoga Allah memberikan taufiq dan kemudahan bagi kita semua untuk mempelajari lebih dalam din-Nya.
 dari artikel Ust. Firanda Andirja:

Syaikh Al-'Utsaimin pernah ditanya ما كيفية الجلسة للتشهد في صلاة الوتر؟ "Bagaimanakah cara duduk tasyahhud pada sholat witir?"

فأجاب فضيلته بقوله: الإنسان في صلاة الوتر يجلس مفترشاً؛ لأن الأصل في جلسات الصلاة الاف
تراش، إلا إذا قام دليل على خلاف ذلك، وعلى هذا فنقول يجلس للتشهد في الوتر مفترشاً، ولا تورك إلا في صلاة يكون لها تشهدان فيكون التورك في التشهد الأخير للفرق بينه وبين التشهد الأول هكذا جاءت السنة، والله أعلم

Beliau menjawab, "Seseorang tatkala sholat witir duduk iftirosy, karena asal dalam duduk dalam sholat adalah iftirosy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukan yang lain. Oleh karenanya kami katakan : ia duduk iftirosy tatkala sholat witir, dan ia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784)

Kamis, 04 April 2013

Bad News, Buat Keburukan Jadi Biasa

بسم الله الرحمن الرحيم

Penyerangan di LP Cebongan. Hanya itu? Tidak. Selain berita yang tadi disebut, kita sudah banyak mendengar banyak peristiwa-peristiwa tindak kekerasan lainnya saat ini. Beragam berita, wacana dan artikel tentangnya ditulis. Entah itu sekedar penyampaian peristiwa, analisa kejadian atau solusi-solusi yang ditawarkan.

Dalam kondisi sekarang ini, dengan banyaknya kejadian kekerasan, media seakan dibanjiri dengan berita-berita yang 'negatif'. Belum lagi ditambah kejadian-kejadian buruk atau kasus-kasus lainnya. Sehingga yang setiap hari tersuguh kepada kita adalah berita-berita semacam itu.

Apa saja contoh lainnya? Well, kalau disebutkan malah sedikit banyak bertentangan dengan apa yang ingin disampaikan.

Apa yang ingin disampaikan?

Begini, menurut saya, secara langsung atau tidak langsung berita-berita tersebut mempengaruhi alam bawah sadar pikiran kita. Kita yang tadinya sangat anti, takut dan merasa terancam akan suatu keburukan, lama-kelamaan akan terbiasa. Padahal rasa anti, takut dan terancam tadi adalah di antara sekian faktor yang dapat mencegah seseorang melakukan kejahatan.

Tadinya kita merasa suatu perbuatan adalah hal yang tabu dan melanggar norma, namun karena mendengar perbuatan tersebut banyak dilakukan, hilanglah rasa malunya untuk berbuat.

Itu kemungkinan yang terjadi dengan orang yang dulunya merasa suatu kejahatan adalah tabu. Bayangkan bagaimana dengan generasi belakangan yang kejahatan-kejahatan selalu disiarkan siang malam. Seakan tiada lagi orang baik di muka bumi.

Teringat cuplikan cerita dalam novel yang cukup terkenal, Sang Pemimpi ketika Arai dan Ikal baru saja memulai petualangan mereka di Ibu Kota...

"Dan hari-hari berikutnya adalah malam-malam tak bisa tidur dan tak enak makan waktu menemukan koran-koran merah yang memuat warta dan gambar penggorokan, perampokan, dan pemerkosaan di sana sini yang hampir setiap hari terjadi di kota. Demikian semaraknya kriminalitas di Bogor, Jakarta, atau Tangerang.
Seakan kota-kota ini akan menjadi kota mati jika sehari saja tidak terjadi tindak kejahatan. Namun, anehnya lambat laun menjadi terbiasa. bahkan ketika nenek-nenek dirampok, dicabuli, dan dibunuh, aku telah menjadi seperti orang kebanyakan : sekali menarik napas panjang, semenit kemudian bahkan lupa inisial nenek itu. Ini adalah kemorosotan paling besar yang kutemukan dalam diriku dengan hidup di kota."

Kemerosotan besar.

Faidah yang lebih besar berkaitan hal ini tentu kita bisa dapati dari Al-Quran dan Sunnah. Di sini saya salinkan artikel Ust. Abul Jauzaa yang berjudul "Aib, Sesuatu yang Seharusnya Ditutupi."

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhir” [QS. An-Nuur : 19].

Pada ayat di atas Allah ta’ala menjelaskan bahwa menyebarkan satu kemunkaran (baik dari jenis perkataan atau perbuatan) agar beredar di kalangan mukminiin, merupakan sifat orang-orang yang mendapatkan ancaman Allah ta’ala akan ‘adzab.

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

“Ini merupakan pelajaran ketiga, bagi siapa saja yang mendengar sesuatu dari perkataan yang buruk, lalu dengan pikirannya tergambar sesuatu yang akan diucapkannya; maka janganlah ia bergegas memperbanyak dan menyiarkannya. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman’ ; yaitu : mereka menginginkan agar perkataan itu nampak dengan buruk. ‘bagi mereka azab yang pedih di dunia’ ; yaitu dengan hukuman hadd. ‘dan di akhirat’; yaitu dengan adzab”.

Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :“Maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji seorang mukmin yang berusaha menutupi aib yang ada pada dirinya tersebut, atau menuduh seorang mukmin dengan satu kekejian yang ia berlepas diri darinya (tidak melakukannya)”.

Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang menyebarkannya; dalam dosa adalah sama”.

Dalam riwayat lain, ia berkata :
“Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang setia mendengarkannya, dalam hal dosa adalah sama”

Lalu...

Mari kita perhatikan kisah menarik Maa’iz dan Hazzaal berikut ini :

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Ia memanggil beliau dan berkata : “Wahai Rasulillah, sesungguhnya aku telah berbuat zina”. Mendengar itu beliau berpaling darinya, hingga orang tersebut mengulangi sampai empat kali. Ketika ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda : “Apakah engkau gila ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Apakah engkau telah menikah ?”. Ia menjawab : “Ya, pernah”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bawalah pergi orang ini”. Lalu para shahabat merajamnya.

Dari Nu’aim bin Hazzaal ia berkata : Hazzaal pernah menyewa Maa'iz bin Maalik dan ia memiliki seorang budak wanita bernama Fathimah yang ia miliki. Budak wanita ini bertugas menggembala kambing milik mereka dan Maa'iz pun menyetubuhinya. Maa'iz memberitahukan hal itu kepada Hazzaal, kemudian Hazzal mengelabuhinya dan berkata : “Pergilah ke Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beritahukan pada beliau (tentang hal yang kau alami). Mudah-mudahan turun Al-Qur’an berkenaan denganmu”. (Setelah ia menghadap dan menceritakan apa yang telah ia lakukan, sebagaimana hadits sebelum ini – Abul-Jauzaa’), lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar dirajam. Saat dirajam dan terkena hantaman batu, Maa'iz berusaha lari kemudian seseorang mengejarnya dengan membawa tulang dagu onta atau tulang betis onta, kemudian dipukulkan ke Maa'iz hingga mati. Setelah itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Celaka kau hai Hazzal, seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu"

Ibnu Hajar berkata :

“Telah berkata Al-Baajiy : Makna (perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu’) adalah lebih baik bagimu daripada engkau suruh ia untuk menjelaskan perkaranya (kepadaku). Adapun anjuran untuk menutupinya adalah dengan menyuruhnya bertaubat dan menyembunyikan aib yang telah dilakukannya sebagaimana yang telah diperintahkan Abu Bakr dan ‘Umar (sebelum Maa’iz menghadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Penyebutan ‘baju’ adalah mubaalaghah, yaitu seandainya engkau tidak mendapatkan jalan untuk menutupinya kecuali (menutupinya) dengan pakaianmu dari orang yang mengetahui perkaranya, maka itu lebih utama/baik daripada yang telah engkau sarankan kepadanya untuk menampakkannya”

“Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Aku senang seandainya orang yang berbuat dosa yang kemudian Allah menutupi dosanya tersebut (sehingga tidak diketahui orang lain); agar juga menutupinya dan bertaubat (kepada Allah ta’ala)’. Beliau (Asy-Syaafi’iy) berhujjah dengan kisah Maa’iz bersama Abu Bakr dan ‘Umar. Ibnul-‘Arabiy berkata : ‘Semuanya ini berlaku untuk selain orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan. Adapun bagi orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan/kekejian, maka lebih senang untuk mengungkapkannya dan menghukumnya agar ia merasa jera dan menjadi pelajaran bagi yang lain”.

Apa yang dikatakan oleh Ibnul-‘Arabiy rahimahullah di atas didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

“Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang terang-terangan melakukan dosa. Dan sesungguhnya diantara terang-terangan (melakukan dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata : 'Wahai Fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’, padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah”

Well, walau bukan berarti semua berita itu harus dihapuskan sama sekali. Tapi tentu ada batasannya bukan?

Wallahu A'lam.

Kamis, 14 Maret 2013

Curhat: Kondisi

بسم الله الرحمن الرحيم


Assalamu'alaikum.

Wow, mau mulai tulisan berat juga ya. Kalau beberapa tulisan sebelumnya, itu hasil pikiran orang lain yang terus dibahasakan ulang. Nah, ini, mau nulis mulai sendiri agak susah. Padahal sekedar menuliskan sedikit tentang kondisi.

Kondisi apa? Well, tentu aja kondisi diri sendiri, yang punya blog ini.

Emang penting?

Ehm, beneran terbetik pertanyaan itu? Kalau begitu, udah, silahkan baca postingan lain atau situs lain atau mungkin putusin koneksinya aja, terserah.

Tenang, bukan ngambek kok. Tapi kalau memang berasa ngebuang waktu banget, ya lebih baik langsung berpaling ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Bener kan?

Jadi, gimana kondisinya?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebenarnya lebih tepat ditanyakan dahulu, kenapa kondisi? Maksudnya, kenapa memilih untuk menceritakan kondisi?

Sederhana saja. Karena kebanyakan yang dibagikan melalui akun-akun yang dikelola oleh blogger ini adalah kebaikan-kebaikan, keindahan-keindahan Islam dan simpanan-simpanan berharga. Dan biasanya orang-orang akan mengira-ngira bagaimana kondisi atau keadaan pengelola akun melalui apa yang tampak dari akun tersebut di dunia maya. Bahayanya, seringkali juga pengelola-pengelola akun di dunia maya ingin mendapatkan predikat baik dengan cara melakukan hal tersebut.

Oleh karena itu, pertama, pemilik blog ini dan pembaca sekalian harus meluruskan niat lagi dalam interaksi-interaksidi dunia maya, kedua, pemilik blog menghimbau agar para pembaca dan akun-akun di friendlist atau follower di media sosial mana pun untuk tidak berekspektasi berlebihan terhadap pemilik blog atau akun-akun lain yang dzhahirnya di dunia maya baik, tapi hakikatnya masih majhul (tidak diketahui). Apalagi kalau sampai poin ini masih terngiang di benaknya bahwa ternyata pemilik blog ini rendah hati sehingga menulis postingan ini, maka bacalah: Shut up! Ambil apa yang baik dan bermanfaat dan jangan dahului Allah dalam menilai seseorang, karena Dialah yang paling mengetahui kondisi setiap hamba-hamba-Nya.

Sungguh, kondisi diri ini jauh dari baik. Akan tetapi, jika sampai melepaskan diri dari sumber-sumber kebaikan, bagaimana ia tidak akan terjatuh pada kondisi yang lebih buruk?!

Apa yang dibagikan tidaklah seberapa dibandingkan dengan akun-akun lain padahal mungkin realitas kehidupan yang dihadapi oleh pengelola akun-akun tersebut lebih besar dan lebih berat. Semoga Allah memberkahi para pengelola akun-akun atau situs-situs tersebut.

Selalu terpikir, di mana posisi diri di antara kaum muslimin? Jauh! Kecil tak teranggap. Atau malah bisa jadi diciptakan diri ini sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman...

Diri ini harus tunduk dan berprasangka baik pada Dzat yang telah menciptakannya serta mewaspadai dirinya sendiri terutama saat dikuasai hawa nafsu. Bisa jadi Allah menginginkan baginya kebaikan dengan keteguhannya melewati kegelisahan dan kegoncangan akibat kelalaiannya sendiri, atau memang diri ini begitu hina sehingga dicampakkan. Semoga Allah melindunginya dari keadaan yang terakhir.