Senin, 10 Desember 2012

Ibadah Asalnya Terlarang

بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, setelah sebelumnya postingan copas tentang pengertian Ushul Fiqh yang aslinya ditulis oleh Mas Rama Rizana, kini beliau telah menulis lagi ringkasan catatan tentang Ushul Fiqh, tepatnya kaidah-kaidah fiqh tentang hukum asal ibadah dan non-ibadah. Berikut copasannya :)


Bismillaahirrohmanirrohiim.

"Hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali terdapat dalil syari'at yang menuntunkannya, sedangkan hukum asal perkara non-ibadah adalah dibolehkan, kecuali terdapat dalil syari'at yang mengharamkannya."

Begitulah pengertian dari salah satu kaidah fiqh.
Ibadah adalah semua hal yang diperintahkan syari'at, baik berupa perintah wajib, maupun yang sunnah. Pengertian ini bermakna bahwa selain dari yang wajib dan sunnah maka tidak termasuk wajib dan tidak termasuk yang dianjurkan (perkara non-ibadah).

Di tulisan ini akan dijelaskan kaidah fiqh di atas menjadi dua bagian, yakni bagian IBADAH dan bagian NON-IBADAH (adat).

Bagian pertama, hukum Ibadah

Bahasan masalah ibadah akan mencakup salah satu terminologi bid'ah. Bid'ah dipahami sebagai hal yang baru. Adapun bid'ah yang terlarang adalah dalam masalah agama, karena sudahlah jelas bahwa syari'at Islam sudah disempurnakan dengan ditandai turunnya ayat potongan Al-Quran yang terakhir, Al-Quran Surat Al-Ma'idah ayat 3.
"............Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu......."

Secara umum bid'ah terbagi menjadi 2 :

Bid'ah yang pertama

Seseorang yang mengada-adakan ibadah yang tidak ada asalnya/tuntunannya dari ALLOH Subhanahu Wa Ta'ala. Misalnya,

ü  dzikir dengan lafazh yang tidak ada tuntunannya,seperti membaca "ALLOH,ALLOH,ALLOH" atau "Huwa,huwa,huwa".

ü  sholat dua raka'at pindah madzhab. Ini dilakukan di salah satu daerah ketika menjelang berangkat haji. pindah madzhab yang mereka maksudkan adalah pindah dari Madzhab Syafi'i (yang menganggap wudhu' akan batal jika bersentuhan dengan lawan jenis) ke Madzhab Hanbali (menganggap tidak apa-apa)

ü  panggilan tertentu untuk sholat 'Ied atau Istisqa

ü  sujud perpisahan sebelum meninggalkan masjid

Bid'ah yang pertama ini dikenal dengan istilah "Bid'ah Haqiqiyah", yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada ALLOH Subhanahu Wa Ta'ala dengan cara yang sama sekali tidak ada tuntunannya.

Bid'ah yang kedua

Seseorang yang mengada-adakan suatu perkara, namun mengada-adakannya tersebut dalam bentuk mengubah dari yang dituntunkan, seperti berdzikir berjama'ah (dzikir jama'i), berwudhu' lebih dari 3 kali basuhan karena merasa lebih afdhal  kalau membasuh sebanyak mungkin, meliuk-liukan badan ketika mengumandangkan adzan sehingga adzan seperti dinyanyikan.

Bid'ah ini dikenalkan dengan "Bid'ah Idhofiyah", yakni suatu amalan yang termasuk bid'ah dari satu sisi, namun dari sisi yang lain tidak bid'ah. Maksudnya, seperti dzikir jama'i. Kalau ibadah dzikir jelas dituntunkan, tapi kalau berdzikir berjama'ah apalagi dengan teriak-teriak ini jelas tidak ada tuntunannya dalam Al-Quran dan Hadits.


Ibadah adalah semua hal yang diperintahkan oleh syari'at, boleh jadi perkara wajib dan boleh jadi perkara sunnah.

Hal yang perlu diperhatikan juga yakni perbedaan antara "Perbuatan itu IBADAH" dengan "Perbuatan itu BERNILAI IBADAH".

Oleh karenanya, seseorang itu terlarang beribadah dengan perkara mubah, karena ini tergolong bid'ah jenis pertama (bid'ah haqiqiyah). 

Contohnya, berupaya mendekatkan diri kepada ALLOH Subhanahu Wa Ta'ala dengan barang-barang tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Sufi yang suka memakai shuf atau wol yang kasar.

Jika dengan perkara mubah saja tidak boleh beribadah, apalagi beribadah dengan hal yang diharamkan, seperti mengharapkan pahala dengan berdusta yang dilakukan oleh orang Syi'ah dengantaqiyyah mereka.

Adapun contoh dari mubah yang bernilai pahala, seperti menjadikan pakaian sebagai bentuk menutup aurat, yang kemudian menutup aurat itu adalah salah satu ibadah. Contoh yang lain, makan dan minum agar badan menjadi sehat dan kemudian bisa menjalankan ibadah, maka semoga perbuatan mubah seperti ini bernilai ibadah. Wallohu Ta'ala a'laam.

Pengertian Ibadah yang lain adalah sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat terbesarnya adalah perkara ukhrowi (yang berkaitan dengan akhirat)


InsyaaALLOH bersambung.



Bantul, 20 Muharram 1434 H

*catatan dari dauroh Qowa'idul Fiqhiyyah dengan pemateri Ustadz Aris Munandar

Senin, 03 Desember 2012

Merenung Colongan tentang Tujuan Hidup.

بسم الله الرحمن الرحيم

Tujuan Hidup

Tujuan hidup? Simple! Kalau merenung sendiri insya Allah didapat: bahagia!

Ya, bahagia! Untuk apa lagi kita hidup kecuali untuk dapatkan kebahagiaan? Kalau nggak bahagia, gak mendingan mati aja?

Trus, apa itu bahagia?

Apa mesti senang terus, makan enak, harta melimpah, hidup mudah, aman tentram dan sehat sejahtera sentosa?

Well, kalo bisa, iya!

Tapi pada kenyataannya ternyata tidak harus begitu.

Orang-orang hebat mengalami penderitaan dalam hidupnya semisal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diboikot, dihina, dilempari, diperangi atau para sahabatnya radhiyallahu 'anhum yang disiksa, dicaci, ditimpa kesulitan, mengalami kelaparan juga Imam Ahmad yang dicambuki dan dipenjara. Dan mereka tetap hidup rela ikhlas menjalani itu semua.

Bisa juga kita lihat orang tua kita yang menikmati lelahnya bekerja membanting tulang untuk menafkahi anak-anaknya, menghadapi rasa kesal menghadapi tingkah mereka dan terus mendidik mereka.

Atau amati teman-teman kita yang rajin, ada yang tak bosan belajar, ada yang tak jera meniti usaha, tak lelah bergelut di organisasinya.

Tanyakan pada mereka semua mengapa mereka mau menjalani itu semua?

Lalu, apa kata Allah tentang tujuan hidupnya manusia? Mengapa manusia diciptakan dan diberi kehidupan? Mari kita renungi ayat ini

وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."

Ibadah. Dalam penjelasan lain, beribadah kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya. Dengan berserah diri dan menyerahkan puncak tunduk, patuh dan cinta kepada-Nya.

Trus, kenapa gak dari tadi di awal disampaikan ayat ini? Kenapa harus bahas bahagia dulu?

Well, karena bahagia hakiki hanya bisa diraih dengan ibadah insya Allah. Kok bisa?

Di sana banyak yang lebih mengetahui dengan pengetahuan yang shahih dan lebih yakin serta dapat menjelaskan dengan lebih gamblang.

Tapi karena sudah sampai di sini, sebatas yang telah ditetapkan, mengapa tidak kita lanjutkan?

Di atas sudah diberi contoh orang-orang yang berusaha mencari bahagia dengan jalan mereka. Permasalahannya, misal, orang tua yang menafkahi keluarganya, terkadang melakukan berbagai macam cara hingga menerobos batas-batas. Atau yang membela negaranya akan tetapi diwarnai chauvinisme sehingga mereka menjajah negara lain dan berbuat seenaknya.

Sedangkan dalam Islam, menafkahi keluarga, berbuat baik pada orang tua, taat dan patuh kepada negara, segala macam kebaikan diajarkan dengan batasan-batasannya dan dengan niat yang ikhlas, berbagai hal tadi bisa bernilai ibadah, mendapatkan pahala!

Yap: diajarkan dengan batasan-batasannya. Bahagia adalah mengikuti fitrah dan meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya dan Islamlah jalan hidup yang ditunjukkan oleh Dzat yang menciptakan manusia dan segala sesuatu, yang paling tahu fitrah manusia dan penempatan semua makhluk.

Sesudah itu, balasan bagi mereka yang mencapai kebahagiaan hakiki di dunia ini adalah kebahagiaan yang lebih lagi di akhirat kelak. Kebahagiaan yang isinya adalah kesenangan tanpa kesusahan!

Lebih dari itu, kesenangan yang harganya jauh melebihi dari keletihan dan penderitaan dari yang paling sengsara sekali pun di dunianya!

“Pada hari kiamat akan didatangkan penduduk dunia yang paling nikmat kedudukannya di antara semua penghuni neraka, lalu dia dicelupkan sekali celupan ke dalam neraka. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan satupun? Apakah kamu pernah sekalipun merasakan kebaikan?” Dia menjawab, “Tidak pernah -demi Allah- wahai Rabb.” Dan didatangkan juga manusia yang paling sengsara hidupnya di dunia di antara semua penghuni surga, lalu dia dicelupkan sekali celupan ke dalam surga. Lalu dia ditanya, “Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan satupun? Apakah kamu pernah merasakan kesusahan sekecil apapun?” Dia menjawab, “Tidak pernah -demi Allah- wahai Rabb, tidak sekalipun saya pernah merasakan penderitaan dan tidak sekalipun saya pernah melihat kesusahan.” (HR. Muslim no. 2807)

Semoga kita semua bahagia. Jika ingin tahu apa tanda-tanda teraihnya bahagia ada baiknya dihadirkan sebuah cuplikan, Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi rahimahullah mengatakan:

“Semoga Allah menjadikan anda termasuk diantara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan.” (Qowaidul Arba’)

Wallahu A'lam bish-shawab.

Jogjakarta, 19 Muharram 1434 H